posisi duduk menentukan prestasi
Posisi menentukan prestasi merupakan filosofi yang sudah dikenal
oleh masyarakat indonesia atau bahkan
sudah mulai menjadi pola fikir yang mengakar. Mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga
pendidikan tinggi sudah tidak asing dengan filosofi ini.
Posisi menentukan prestasi berarti
letak posisi atau tempat duduk menentukan keberhasilan seseorang. Lalu buat apa
kita belajar bertahun-tahun lamanya, membuka buku setiap hari serta mengerjakan
tugas setiap waktu jika pada akhir nya posisi yang memiliki peran utama
terhadap keberhasilan seseorang??? .
Ini merupakan masalah serius yang memerlukan pemikiran yang mendalam untuk
memecahkanya.
Prestasi yang dimaksud oleh
banyak orang cenderung mengarah pada angka hasil ujian. Nilai yang tinggi
menunjukan prestasi yang tinggi, padahal angka yang diberikan belum tentu
merupakan hasil penilaian yang objektif. Mari kita dalami dengan berbagai sudut
pandang.
1. 1. Siswa:
takut dan malu
Banyak kita
jumpai baik siswa atau mahasiswa ketika ujian mencari posisi yang tepat. Bukan
tempat yang nyaman untuk berfikir tetapi tempat untuk mendekat kawan dengan
jawaban yang akurat. Secara psikologi ini merupakan bentuk pesimisme terhadap
dirinya sendiri, bentuk dari intropeksi yang keblinger (jawa=salah). menyadari bahwa dirinya berintelegesi minim tetapi
intropeksi yang ada tidak diarahkan untuk belajar lebih giat tetapi mengarah
pada ketergantungan terhadap kinerja orang lain .
Timbul
pertanyaan : “mengapa mereka memiliki pola fikir demikian?”. Ini dampak dari
adanya penghargaan tingkat tinggi terhadap angka, bukan skill (keterampilan).
Anggapan bahwa yang terpenting bukan banyaknya ilmu yang diserap tetapi angka
yang tinggi sebagai indikator prestasi untuk mendapatkan pengakuan dan pujian
dari orang lain. Nilai yang rendah dianggap bodoh dan nilai yang tinggi dianggap
cerdas. Padahal nilai tidak dapat menjadi indikator keterampilan jika tidak
sahih dan objektif. Sebagian siswa merasa takut jika orangtua mereka mendapati
nilai anaknya jelek, perasaan takut membawa siswa untuk menghalalkan segala
cara untuk melambungkan angka yaitu dengan menyontek atau plagiasi.
Ini juga akibat
dari masih banyaknya tuntutan dunia
kerja yang memandang keterampilan calon tenaga kerja kerja dari angka-angka
dalam goresan ijasah. Sering kita lihat lowongan kerja yang mensyaratkan ipk minimal
yang dicapai. Ini menjadi dasar pemikiran siswa untuk memuja angka daripada
ilmu.
Pola fikir demikian harus dirubah karena
ketika dalam dunia kerja anda masuk ke instansi dengan nilai 100 tetapi
realitanya skill anda nol (0) anda akan
sulit berkembang atau akan menerima perlakuan dan tekanan yang tidak
menyenangkan secara psikologi ketika bekerja.
2. Guru
: posisi yang membinasakan???
Kita sering melihat banyak orang tua menyuruh
anaknya untuk menempati posisi paling depan. “apa bedanya barisan depan dan
barisan belakang?”. Apakah di depan selalu cerdas dan di belakang selalu
bodoh?. Tentu kita dalami penyebab orangtua berfikir demikian. Guru hendaknya punya ambisi untuk memecahkan
filosofi ini. Jika orang tua berfikir bahwa barisan depan adalah barisan
terbaik, kita lihat apakah guru hanya mengajar bagian depan?, fakta yang ada ternyata
sebagian besar guru memang masih konvensional yaitu mengajar dengan cara
memberikan materi di depan kelas , sehingga seoalah-olah barisan belakang
terabaikan oleh guru.
Dalam pembelajaran seharusnya guru lebih sering mengambil
posisi mengajar di tengah-tengah barisan sehingga bukan hanya materi saja yang
bisa sampai ke siswa paling belakang tetapi perhatian dan kasih sayang juga
sampai ke siswa yang paling belakang . pola tempat duduk yang dapat mengatasi
masalah filosofi posisi menentukan prestasi ini yaitu dengan menerapkan pola
duduk tapal kuda atau melingkar. Guru lebih seringlah untuk mendampingi seluruh
siswa, siswa paling belakang bukannya tidak memperhatikan anda tetapi karna
mereka juga tidak mendapat perhatian dari anda.


Comments
Post a Comment